RIWAYAT HIDUP R.A. KARTINI
A.
Asal-Usul
Kehidupan R.A. Kartini
Raden
Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priayi atas kelas bangsawan Jawa,
putri Raden Mas Sosroningrat Bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari
istri pertama tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang
biasa.
Kartini
lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya R.M.A.A. Sosroningrat pada mulanya
adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah putri dari Nyai
Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono seoran guru agama di Teluwakur, Jepara.
Peraturan kolonial pada waktu itu mengharuskan seorang Bupati beristerikan
seorang bangsawan, karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (moerjam) keturunan langsung Raja
Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah
Kartini diangkat
menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini
lahir pada tanggal 28 Rabiulakhir tahun Jawa 1808 (21 April 1879) di Mayong,
afleding, Jepara, kemudian sekolah Belanda di Jepara, tempat kedudukan bapaknya
menjadi Bupati. Dimasa sekolah itu Kartini merasa bebas.Waktu sudah berumur dua
belas tahun, tiba-tiba dipaksa ditutup (dipingit) .
Orang
tua Kartini memiliki adat memingit dengan teguh, meskipun dalam hal-hal lain
sudah maju, bahkan sebenarnya keluarga yang termaju di pulau Jawa. Empat tahun
lamanya kartini tidak diizinkan keluar rumah , ketika sudah berumur 16 tahun
(pada tahun 1895) ia dibolehkan melihat dunia luar lagi.
Kartini
seorang anak yang suka belajar, dan dia tahu masih banyak pengetahuannya yang
dapat dipelajari, dia tiada hendak kurang dari kawankawannya anak gadis Eropa
dan saudara-saudaranya yang menjadi murid H.B.S.. Dipohonkannya kepada Bapaknya
dengan sangatnya supaya boleh juga terus belajar, seperti kawan-kawannya dan
saudaranya, tetapi dengan pendek saja diberi bapaknya jawaban tidak.
Kartini
anak yang kelima. Yang sulung adalah R.M. Sosroningrat, dibawahnya pangeran A.
Sosrobusono yang menjadi Bupati di Ngawi, sesudah itu Raden Ayu Tjokroadisosro,
dan Drs. R.M. Sosrokartono. Adik-adik kartini ialah R.A. Rukmini yang kemudian
menjadi R.A. Santoso (kudus), R.A. Kardinah yang kemudian menjadi R.A.
Reksonagoro Bupati Tegal, R.A. Kartinah (menjadi R.A. Dirdjoprawiro), R.M.
Sosromulyono, R.A. Sumantri (menjadi R.A.Sosrohadikusumo). Dan R.M.
Sosrorawito.
Kartini
adalah anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan dari
keluarga yang cerdas. Kakeknya Pangeran Ario Tjondronegoro IV,diangkat menjadi
Bupati dalam usia 25 tahun, kakak Kartini Sosrokartono adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun Kartini diperbolehkan
bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Disini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda, tetapi setelah usia 12 tahun ia harus tinggal
di rumah karena sudah biasa dipingit.
Karena
Kartini bisa bahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat kepada teman-teman korespondensinya yang berasal dari Belanda salah
satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku Koran
dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Timbul kemauan untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat
itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartni banyak
membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Broos
Hooft, ia juga menerima Leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko
buku kepada langganan). Diantaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche
Lelie. Kartini pun beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di Hollandsche
Lelie. Perhatiannya bukan hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi
juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh
kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih
luas. Diantara buku yang dibaca sebelum berumur 20 tahun, terdapat judul Max
Havelaar dan surat-surat cinta karya Multatuli yang pada November 1901
sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (kekuatan gaib) karya
Louis Coperus, kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta De
Witt yang sedang-sedang saja, Roman Feminis karya Nyonya Goekoop de-jong Van
Beek dan sebuah roman anti perang karangan Berta Van Stuttner, Sie Waffen
Nieser (letakkan senjata) semuanya berbahasa Belanda. Oleh orang tuanya Kartini disuruh menikah dengan bupati
Rembang, Raden Adipati Joyoningrat yang sudah
memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Kartini diberikan kebebasan mendirikan
sekolah wanita disebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang yang kini digunakan
sebagai gedung Pramuka.
Anak pertama sekaligus terakhir R.M. Soesilat, lahir pada tanggal
13 sertember 1904, pada tanggal 8 Nopember 1903 R.A. Kartini Menikah, beberapa hari
kemudian tanggal 17 Sertember 1904 Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini
dimakamkan di desa Bulu, Rembang. Berkat kegigihannya Kartini kemudian
didirikan sekolah wanita oleh yayasan Kartini di Semarang pada 1912, kemudian
di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun Cirebon dan daerah lainnya, nama
sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartni ini didirikan oleh
keluarga Van Deventer seorang tokoh politik etis. R.A Kartini cucu pangeran
Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal suka akan kemajuan. Beliaulah
Bupati yang pertama-tama yang mendidik anakanaknya, laki-laki maupum perempuan dengan
pelajaran barat.
Dalam tahun 1846 belum ada pikiran memberikan pendidikan kepada
orang Bumiputera, bahkan sekolah bagi orang Eropa masih banyak celanya. Tetapi beliau
sudah dapat meremalkan apa yang perlu di waktu yang akan datang. Supaya
anak-anaknya mendapat pelajaran Barat, maka mendatangkan seorang guru dari
negeri Belanda, semata-mata bagi anak-anaknya.
Celaan
Bupati-bupati yang lain tidak dipedulikannya. Beberapa tahun sebelum meninggal,
katanya, anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran engkau tiada akan mendapat
kesenangan, turunan kita akan mundur, ingatlah”. Dan anak-anak itu membenarkan
perkataan beliau itu.
Pada tahun 1902 di seluruh pulau Jawa dan Madura hanya empat orang
Bupati, yang pandai menulis dan bisa bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, ialah
Bupati Serang (P.A.A.Achmad Djajadiningrat), Bupati Ngawi (R.M. Tumenggung
Kusumo Utoyo), Bupati Demak (Pangeran Ario hadiningrat, paman R.A. Kartini),
dan bupati Jepara (bapak R.A. katini R.M. Adipati Ario Sosroningrat). Di
Cirebon ada beberapa Bupati yang mendapat didikan,
selebihnya
pada masa itu masih kolot.dari situ kelihatan betapa majunya keluarga R.A.
Kartini. Pamannya itu bukan sekali dua kali menjadi anggota commissi yang didirikan
pemerintah untuk menyelidiki sesuatu perkara, dalam permulaan abad ini
didirikan perhimpunan Bupati. Maka yang menjadi ketua yang pertama-tama Pangeran
Ario Hadiningrat.
Beliau itulah pula yang mula-mula pandai menguraikan pikiannya dan
pendapatnya secara orang Barat, ialah pikiran dan pendapatnya tentang keadaan dalam
masyarakat orang Jawa. Dan tentang apa yang harus dijalankan akan memperbaiki
keadaan itu. Dalam tahun 1871 beliau dipekerjakan pada departemen B.B. kemudian
diwajibkan membuat nota tentang apa-apa sebabnya amtenar Bumiputera berkurang
disegani orang dan tentang apa-apa yang hendaknya dijalankan supaya mereka itu
naik derajatnya.
Dari yang tersebut diatas teranglah, bahwa nenek R.A. Kartini
adalah seorang yang suka maju, yang tidak memperdulikan celaan orang , terus
saja melakukan apa yan baik dalam pikiranya. Beliau seorang perintis jalan.
Sepeninggal beliau juga masih disebut-sebut orang namanya dengan hormatnya.
Turunan Tjondronegoro terkenal keluarga yang suka maju. Anak-anaknya semuanya menerima
warisan bapaknya ialah sipat suka maju, karena itu diberikanlah anakanaknya pendidikan
seperti apa yang ia dapat. Saudara R.A. Kartini banyak yang
lulusan
H.B.S, sekolah yang tinggi yang ada di negeri kita ini pada waktu dahulu, dan
seoarang saudaranya di negeri Belanda, Belajar.
Dalam suratnya tanggal 29 Nopember 1901 kata Kartini kepada Nyonya
Abendanon: Kartini dan saudaranya laki-laki maupun perempuan, dididik bapaknya
menjadi orang yang berpikiran. Ikhtiar itulah jasa yang menyebakan bapak banyak
disegani dan disayangi orang.
Buku-Buku Bacaan R.A. Kartini
R.A. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga
menerima Leestrommel
(paket majalah yang diedarkan toko buku
kepada langganan). Diantaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan
yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun beberapa kali mengirimkan
tulisannya dan dimuat di De
Hollandsche Lelie.
Diantara buku yang dibaca R.A. Kartini
diantaranya terdapat judul Max Havelaar dan
surat-surat cinta karya Multatuli, yang pada Nopember 1901 sudah dibacanya dua
kali. Lalu De
Stille Kraacht (kekuatan gaib) karya Louis Coperus,
Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang
sedang-sedang saja, roman feminis karya Nyonya Goekoop de Jong Van Beek dan
sebuah roman anti perang karangan Berta Von Suttner, Sie Waffen Nieder (letakkan senjata) semua berbahasa
Belanda. Buku-buku bacaan yang dibaca R.A. Kartini ini memang
tidak seberapa jika
dibandingkan dengan masa sekarang, namun jika buku-buku bacaan
itu muncul di masa R.A. Kartini maka itu hal yang luar biasa dan mengagumkan,
karena dimasa R.A. Kartini itu sulit dan jarang sekali didapatkan buku-buku
sepeti itu, yang ada hanya surat menyurat. Jadi R.A. Kartini termasuk perempuan
yang cerdas, kreatif, yang selalu ingin berpikir maju pada zamannya.
Presiden Soekarno mengelurkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 108 tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapan Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini
tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahan sebagai hari besar yang
kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Sumber :
Judul Buku : Armijn Pane
Habis Gelap terbitlah Terang by Kartini
Daftar pustaka:
Pane,Arjmin.2005.Habis Gelap
Terbitlah Terang.jakarta:balai Pustaka.Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar